Mata saya tak lepas dari layar telepon pintar yang saya genggam. Sesekali melihat pergerakan waktu sambil terus berkomunikasi dengan local guide yang sudah membawa jamaah saya menuju ke Aqsa untuk mengejar Shalat Jumat.
Ya, rombongan sudah menuju Aqsa, sementara saya harus menemani seorang jamaah yang tertahan di border.
Sudah lebih dari 45 menit berlalu. Sebenarnya ini masih hitungan normal. Sebelumnya group kami pernah tertahan hingga 2 jam lebih. Apa yang membuat kami jadi gelisah? Karena ini hari Jumat, maka tentu kami berharap dapat melewati proses imigrasi ini dengan segera agar bisa Shalat Jumat di Aqsa.
Tanpa Alasan
Jangan ditanya kenapa sampai ada yang tertahan seperti ini, karena kami pun tidak tahu apa alasannya.
Kalau karena usia, maka seharusnya bapak ini tidak termasuk kategori usia muda. Usianya sudah kepala 6. Kalau karena alasan laki-laki? Ah, ibu saya sendiri pernah kok tertahan.
Lalu kenapa ada yang tertahan di border, sementara sudah mengantongi visa?
Logikanya, kalau visa approved, maka apalagi yang jadi masalah? Kalau list peserta ada dalam 1 manifes, kenapa hanya 1-2 saja yang bermasalah sementara yang lain lancar?
Inilah yang disebut dengan istilah random check. Pemeriksaan acak yang kadang tidak butuh alasan. Termasuk saat itu. Satu jamaah saya tertahan.
Tinggal kami berdua saja dari rombongan yang tersisa di Border Allenby siang itu.
Tawaran Menarik
“Ibu dari mana?” tiba-tiba seorang laki-laki berpostur tinggi besar menghampiri kami. Secara wajah, tampak seperti orang Asia Timur. Kalau tidak China, Jepang, atau Korea. Semacam itulah. Tapi kenapa bisa Bahasa Melayu? Saya bertanya-tanya di dalam hati.
“Saya lama duduk di Kuala.” Ucapnya saat saya bertanya dari mana ia bisa berbahasa Melayu.
“Kena random check, ya? Hal ini biasa terjadi. Kawan saya pun kena tahan. Padahal paspor dia paspor USA.” Ia memberi penjelasan kenapa ia di border itu juga.
Laki-laki yang berdiri di sampingnya mengucap salam ke kami. “Assalamua’alaikum.” Laki-laki ini juga berpostur tinggi besar. Namun berwajah Asia Selatan. Kalau tidak India, Pakistan, atau sekitarnya.
Rupanya mereka adalah teman sekampus. Laki-laki yang pertama kali menyapa kami dinas di Kedutaan Besar Amerika di Amman, Jordan. Ia mengantar temannya itu mengunjungi Aqsa.
“Saya juga muslim, Bu. Saya juga ingin Shalat Jumat di Aqsa” lanjutnya.
Ya Allah, ternyata beliau muslim juga. Aah, tenangnya hati. Ada teman sesama muslim di border, batin saya.
Kami pun berbincang. Darinya saya tahu bahwa meski memegang paspor USA yang nota bene tidak butuh visa untuk masuk tidak serta merta bebas dari random check.
Sayangnya, obrolan kami terputus saat salah satu petugas imigrasi mengembalikan paspor pada jamaah saya. Artinya kami diperbolehkan meninggalkan border.
“Ibu naik apa ke Aqsa? Kalau Ibu mau menunggu, kita bisa bersama ke sana,” ujar lelaki itu lagi.
Aha, tawaran menarik. Setidaknya saya tidak perlu keluarkan uang untuk ke Aqsa. Tapi, siapa mereka ini? Saya baru saja kenal. Entah benar, entah tidak yang diceritakannya pun awak tak tahu.
Coba tebak, saya menerima tawaran itu atau tidak?
(Bersambung)