Memperbaiki Gaya Hidup Sebelum Ramadhan

Mengubah gaya hidup menjelang Ramadhan

Gaya hidup sehat dipilih banyak orang untuk menjaga kesehatan jiwanya. Selain menjaga pola makan, menjalani hidup dengan mindfulness. Mindfulness sendiri adalah sebuah kondisi di mana kita sadar secara penuh, hadir dan terlibat penuh dengan apa yang kita lakukan saat ini. Bebas dari gangguan dan penilaian , dan sadar akan pikiran dan perasaan kita tanpa terjebak di dalamnya.

Pusat rehabilitasi, pusat meditasi, spa dan workshop kesehatan mental menggunakan program multi-segi yang menggabungkan pola makan, tidur, kebugaran, dan rutinitas meditasi yang diatur secara ketat untuk memfasilitasi pemulihan dan penyembuhan peserta.

Bacaan Lainnya

Banyak hal yang mempengaruhi kondisi mental antara lain; pola asuh, kondisi lingkungan, media sosial hingga  masalah penyalahgunaan zat, kecanduan, atau penyakit fisik lainnya.

Hasil dari “rehabilitasi” diharapkan peserta menjadi “bersih” dan “terdetoksifikasi”, kembali ke masyarakat beberapa minggu atau bulan kemudian dengan pikiran, tubuh dan jiwa yang lebih sehat.

Syukurlah, Allah, dengan rahmat-Nya yang tak terbatas, telah mewajibkan program yang jauh lebih baik namun juga teratur, setahun sekali bagi setiap Muslim. Program ini dikenal dengan nama “Ramadhan”.

Akar bahasa Arab dari kata “Ramadhan” terletak pada huruf ra-meem-daad, yang berarti, “dipanaskan secara membara oleh teriknya matahari di siang hari”.

Faktanya, puasa di bulan Ramadhan sangat erat kaitannya dengan keimanan yang ada di hati seorang Muslim, dan dimaksudkan sebagai program “detoks” spiritual dan fisik yang meremajakan keimanan dengan cara “membakar” dosa-dosa yang dilakukannya selama sisa tahun itu.

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda:

“Barangsiapa yang berpuasa di bulan Ramadhan karena iman dan mengharap pahala, maka diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR. An-Nasa’i)

Selain pembakaran dosa, “panasnya” rutinitas puasa Ramadhan selama 30 hari yang berlangsung selama 30 hari juga dimaksudkan untuk meningkatkan ketakwaan seorang Muslim, atau tingkat keimanan mereka terhadap Tuhan:

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah 2: 183)

Taqwa diwujudkan dengan seberapa besar seorang Muslim mengingat Allah, memikirkan-Nya, rindu untuk ridha-Nya, menjauhi perbuatan yang tidak diridhai-Nya, serta menyesali dan segera memohon ampun atas perbuatan salah baik sengaja maupun tidak sengaja dan bermaksiat kepada-Nya.

Tingkat ketakwaan yang lebih tinggi ini dicapai sebagai hasil dari banyaknya ibadah dan amal shaleh yang diwajibkan selama bulan Ramadhan berdasarkan sunnah Nabi (saw) antara lain:

Peduli terhadap Sesama dan Tadabbur Al-Qur’an

Abdullah ibnu Abbas Radhiyallahu anhuma berkata :

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah orang yang paling dermawan dengan kebaikan, dan lebih dermawan lagi pada bulan Ramadhan ketika Jibril Alaihissallam bertemu dengannya. Jibril menemuinya setiap malam Ramadhan untuk menyimak bacaan al-Qur’annya. Sungguh, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih dermawan daripada angin yang berhembus.” (HR. Al-Bukhari)

Angin yang berhembus mendistribusikan rezeki dengan bertindak sebagai pertanda hujan yang bermanfaat, dan juga menyebabkan penyerbukan dan pembuahan tanaman. Akibat dari angin yang berhembus itu membawa gumpalan awan yang menjelma menjadi hujan yang membuat tanah menjadi subur dan menghasilkan makanan yang berkualitas.

Ini persis seperti apa yang Nabi lakukan terhadap orang lain selama bulan Ramadhan – yang murah hati dan membawa kemakmuran seperti angin. Beliau juga mengulang-ulang bacaan Quran yang telah diturunkan kepadanya sampai saat itu, setiap hari dengan Malaikat Jibril selama Ramadhan.

Sebagai umatnya, kita harus mencontoh perilakunya selama bulan Ramadhan: kita harus membaca Al-Quran setidaknya satu kali khatam, dengan cara yang tidak terburu-buru dan memperbaiki tajwidnya, baik secara mandiri atau bersama-sama di dalam majelis Al-Quran. Kita juga harus menjadi lebih dermawan selama bulan ini.

Hal ini dapat dilakukan dengan menyalurkan zakat tahunan kita kepada keluarga besar kita yang membutuhkan dan lingkungan sekitar. Kita juga harus berusaha memberikan makanan untuk orang lain berbuka puasa di bulan Ramadhan.

Kita harus berusaha untuk bertanya pada diri sendiri: “Apakah saya membaca Al-Quran setidaknya khatam sekali dalam sebulan penuh? Apakah saya menjadi alat penyalur kesejahteraan dan rezeki kepada orang-orang di sekitar saya, seperti angin yang berhembus?”

Mendirikan Shalat di Malam Hari

Diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa Nabi bersabda:

An Nasa’i dari Abu Hurairah RA meriyawatkan Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa mendirikan (shalat) pada bulan Ramadan karena iman dan ihtisab diampuni baginya dosa-dosa yang telah lalu”. (HR. An-Nasa’i)

Nabi biasa melakukan shalat malam sebagai rutinitas pribadi sepanjang tahun, namun beliau secara khusus dan memerintahkan umat Islam untuk melakukannya selama bulan Ramadhan.

Alhamdulilla, seluruh masjid di seluruh dunia memfasilitasi umat Islam untuk melaksanakan salat malam ini dalam bentuk tarawih berjamaah selama bulan Ramadhan. Kita harus berusaha untuk tidak melewatkan satu malam pun shalat tarawih, dan jika kita melewatkannya, kita harus berusaha menggantinya dengan shalat tambahan di rumah, terutama pada larut malam sekitar 2 jam sebelum Subuh, sebelum sahur.

Intinya adalah, setiap menit Ramadhan sangatlah berharga, dan dengan hari-hari musim panas yang panjang. Kita harus memanfaatkan malam-malam yang sangat singkat ini dengan melakukan shalat sunah tambahan pada malam-malam tersebut, dan memohon ampun kepada Allah untuk diri kita sendiri dan memohon bimbingan-Nya untuk sisa tahun ini.

Tujuan kita seharusnya adalah untuk tidak membiarkan satu malam pun di bulan Ramadhan berlalu tanpa kita berdiri dalam shalat sunnah di dalamnya.

Menahan Diri dari Berbohong

Puasa pada hari-hari Ramadhan tidak sekedar berpantang makanan, minuman dan hubungan suami-istri. Hal ini juga mencakup menghindari kebohongan, lelucon cabul, kata-kata yang menyakitkan, bergosip, berdebat, memfitnah, mengumpat, dan mengucapkan pernyataan apa pun yang, dalam bahasa Arab, termasuk “zoor”, menurut Al-Quran dan hadis:

Al-Quran memerintahkan “…dan jauhi perkataan yang batil (qaul al-zoor).” (QS. Al-Hajj 22: 30)

Kata-kata Arab yang sama “Qaul Al-Zoor” yang disebutkan dalam ayat Al-Quran di atas, digunakan oleh Nabi untuk menunjukkan jenis ucapan yang membatalkan puasa Ramadhan, dan dengan demikian dilarang sama sekali, dalam hadits di bawah ini:

Diriwayatkan oleh Abu Hurairah:

“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan dusta malah mengamalkannya, maka Allah tidak butuh dari rasa lapar dan haus yang dia tahan.” (HR. Bukhari)

Arti kata Arab “zoor” adalah “penyimpangan, kebengkokan, atau kebohongan”.

Hadits di atas menunjukkan bahwa kita tidak hanya harus menjauhi kebohongan yang terucap selama puasa Ramadhan, namun kita juga harus menyikapi kebohongan tersebut dengan cara apa pun, melalui tindakan kita. Pada dasarnya segala bentuk ketidakjujuran, baik perkataan maupun perbuatan, dilarang sama sekali selama berpuasa.

Larangan ini merupakan larangan yang sangat serius dan kita semua harus ekstra hati-hati, karena jika melakukannya maka akan membatalkan puasa Ramadhan dan menjadikannya hanya sekedar rasa lapar dan haus secara fisik, dan bukan ibadah suci yang mendatangkan manfaat. kesenangan Tuhan.

I’tikaf

Diriwayatkan Aisha (istri Nabi):

“Nabi biasa melakukan i`tikaf pada sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan sampai dia meninggal dan kemudian istri-istrinya biasa melakukan i`tikaf setelahnya.” (HR. Al-Bukhari)

Ketika sepertiga terakhir Ramadhan dimulai, Nabi Muhammad menjadi sangat ketat dalam shalat malam dan ibadah siang hari, mengasingkan diri tidak hanya dari para sahabatnya, tetapi juga keluarganya sendiri. Percakapan dan interaksi sosial yang dilakukannya selama ini hanya minim, hanya berdasarkan kebutuhan.

Diriwayatkan bahwa Aisha berkata:

“Nabi selalu berusaha keras (dalam ibadah) pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan, yang tidak pernah dilakukannya pada waktu-waktu lainnya.” (HR. Ibnu Majah)

Akar kata Arab “i`tikaf” terletak pada huruf ain-kaf-fa’, yang berarti “melanjutkan niat pada sesuatu, terus-menerus atau tekun”.

Maknanya sangat erat kaitannya dengan amalan Nabi SAW pada sepuluh malam terakhir bulan Ramadhan. Ketika bulan tersebut memulai bagian terakhirnya, beliau tampak beribadah pada bulan itu lebih keras dari sebelumnya, dan dengan lebih bersemangat lagi, memaksimalkan waktu yang dia habiskan dalam pengabdian penuh kepada Tuhan sebelum bulan itu berlalu dan harus menunggu selama sebelas bulan lagi.

Diriwayatkan Aisyah:

“Dengan dimulainya sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, Nabi biasa mengencangkan ikat pinggangnya (yaitu bekerja keras) dan biasa shalat sepanjang malam, dan biasa membuat keluarganya tetap terjaga untuk shalat.” (HR. Al-Bukhari)

Nabi tetap terjaga di malam hari sambil asyik shalat sunah, dan menghabiskan hari-harinya dengan berpuasa dan meninggalkan interaksi sosial. Selama Ramadhan terakhir hidupnya, sebelum dia meninggal, dia menghabiskan dua puluh hari terakhir bulan Ramadhan dengan beri`tikaf (bukan sepuluh hari), dan membaca seluruh Al-Quran dua kali khatam bersama malaikat Jibril.

Ali meriwayatkan:

“Nabi membangunkan keluarganya pada sepuluh (malam) terakhir bulan Ramadhan.” (HR. At-Tirmidzi)

Hadits-hadits di atas dengan jelas menunjukkan bahwa bahkan istri-istri dan anak-anak Nabi pun akan ikut serta dalam menjalankan ibadah rutin yang lebih ketatlagi selama sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, yang didukung oleh dorongan dan dorongan beliau. Sebagai umatnya, kita juga harus melakukan hal yang sama.

Kita harus memusatkan perhatian pada pengkajian Al-Quran sehingga pembelajaran dan bacaan kita berlangsung sepanjang Ramadhan, dan tidak berakhir sebelum beberapa hari terakhir, yang seharusnya menjadi puncak ibadah kita, bukan titik terendahnya.

Daripada mencoba untuk “menyelesaikan” kajian Al-Quran kita sebelum minggu terakhir untuk “mempersiapkan” Idul Fitri. Lebih baik terus membaca Al-Quran dan berdiri dalam shalat sampai bulan Syawal terlihat dibandingkan menyibukkan diri dengan persiapan idul fitri.

Menjelang bulan Syawal, kita harus berusaha untuk tidak terganggu oleh persiapan Idul Fitri dan belanja di menit-menit terakhir, yang sayangnya terjadi pada sebagian besar umat Islam di seluruh dunia. Semangatnya untuk bepergian bersama keluarga mereka yang tinggal di negara lain untuk merayakan Idul Fitri. Siang dan malam berharga di minggu terakhir Ramadhan berbelanja oleh-oleh, memasak makanan, membersihkan rumah, mengemas koper, dan untuk mencapai semua itu, menghabiskan banyak waktu di mal dan pasar hingga malam hari.

Dunia dan berbagai gangguan yang ada di dalamnya, serta kewajiban sosial yang kita buat sendiri, harus menjadi hal terakhir yang ada dalam pikiran kita menjelang berakhirnya Ramadhan.

Seperti yang ditunjukkan oleh sunnah Nabi, kita harus semakin tekun beribadah dan mencapai keberkahan Ramadhan yang sebentar lagi pergi.

Dalam rangka menyambut Ramadhan, mari kita ubah pola pikir dan jiwa kita menjadi yang menantikan dan mendambakan berbagai manfaat dan pahala. Mari kita keluarkan dompet/buku cek/kartu debit dan melonggarkan ‘dompet’ kita sebagai antisipasi untuk memberi dengan sepenuh hati kepada mereka yang membutuhkan. Mari kita merendahkan hati terlebih dahulu, dan memohon kepada Allah agar membukakan dada kita agar cahaya dan petunjuk Al-Quran masuk ke dalamnya di bulan mendatang.

Dan marilah kita melatih tubuh kita sebagai persiapan untuk menghadapi rasa lapar dan haus yang panjang dan panas – semuanya untuk menyerahkan diri kita – hati, tubuh dan jiwa – kepada Pencipta kita yang penuh kasih, yang mengirimkan kita bulan yang indah ini setiap tahun sebagai bulan terbuka “ undangan” untuk berlari kembali kepada-Nya dalam kerendahan hati dan pertobatan.

 

 

Pos terkait