Bermedia.id – Baitul Maqdis dan umat islam memiliki hubungan yang sangat erat. Dia pernah menjadi kiblat pertama sebelum Allah Subhanahu wa Ta’ala memindahkan kiblat ke Mekkah.
Dari Ibnu Abbas, “Rasulullah shalat menghadap ke Baitul Maqdis semasa ia di Mekkah dengan Ka’bah berada di tengah-tengahnya. Ketika ia hijrah ke Madinah, ia tetap menghadap Baitul Maqdis selama 16 bulan sebelum diperintahkan menghadap ke Ka’bah”.
(Musnad Ahmad)
Artinya, satu tahun setengah setelah Beliau ﷺ hijrah ke Madinah, Beliau masih menghadap ke Baitul Maqdis. Bila dijumlahkan periode Mekkah 13 tahun ditambah satu setengah tahun setelah hijrah ke Madinah, maka total Beliau ﷺ dan para Shahabat menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblat adalah 14,5 tahun.
Artinya, selama mayoritas hidupnya Nabi ﷺ, Beliau ﷺ berkiblat, terkoneksi, dan terhubung dengan Baitul Maqdis.
Dari sini, kita harus bisa memahami ikatan hati Beliau ﷺ secara relijius kepada Baitul Maqdis: sangat erat sekali.
Selain menjadi Kiblat, banyak sekali surah-surah pendek Al-Qur’an yang dibaca Rasulullah ﷺ sedari awal shalat di periode Makkah:
• Surah At-Tiin. Buah tin dan buah zaitun. Sudah mahsyur bagi orang-orang Makkah, Buah tin dan buah Zaitun hanya ada di wilayah Syam yang di dalamnya mencakup Baitul Maqdis.
• Surah Al-Anbiya. Di dalam Surah ini, Allah menceritakan kepada Nabi ﷺ tentang nabi-nabi sebelumnya. Jadi, seperti yang kita ketahui, sepertiga isi Al-Qur’an berisi kisah. Di dalam sepertiga itu, mayoritasnya bercerita tentang nabi-nabi yang berhubungan, baik langsung maupun tidak langsung, dengan Baitul Maqdis. Misalnya, sekilas saja, kita mengetahui bahwa Nabi Isa lahir di Baitul Maqdis. Begitu juga mengenai ibundanya, yaitu Maryam binti ‘Imran, yang kita mengenal proses melahirkan dan mengandungnya. Nabi Zakariyya, Nabi Yahya, Nabi Sulayman, Nabi Daud, Nabi Yusuf, Nabi Ibrahim. Jadi, dapat kita bayangkan, saat itu, surah-surah yang dibaca oleh Nabi.
• Surah Al-Israa’.
• Surah Ar-Ruum. Turunnya surah Ar-Ruum menjadi dorongan dan panduan untuk ummat agar tidak buta pada politik dunia. Pikiran dan cakrawala ummat dibuka luas.
Tiga tahun sebelum peristiwa Isra’ Mi’raj, atau tahun ke-7 kenabian terjadilah peristiwa pemboikotan, dan merupakan peristiwa yang sangat berat untuk Nabi ﷺ dan Ummat Islam di Makkah saat itu.
Lokasinya di lembah Abu Thalib, wilayah Bani Hasyim. Boikot dilakukan selama tiga tahun, tanpa ada pasokan logistik masuk.
Peristiwa ini sampai memberikan efek kepada Ibunda Khadijah, karena ummat tidak mendapatkan kehidupan yang layak. Di akhir periode boikot, Ibunda Khadijah pun wafat, dan yang kemudian disusul oleh wafatnya paman Nabi ﷺ.
Peristiwa kematian ibunda Khadijah ra dan paman Rasulullah, Abu Thalib, menyebabkan guncangan jiwa yang sangat dahsyat untuk Nabi ﷺ.
Setelah itu, terjadi juga peristiwa Thaif. Saat Beliau ﷺ mencari objek dakwah baru di Thaif, ternyata Beliau ﷺ malah dipersekusi sampai dilempari batu.
Di sinilah Beliau ﷺ berdoa,”Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maharahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu.”
Dalam doa ini Beliau ﷺ mengakui kelemahan dan mengharap panduan dari Allah.
Malaikat Jibril iba menyaksikan Rasulullah itu terluka fisik dan hatinya. Jibril berkata, “Allah mengetahui apa yang terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu.”
Para malaikat penjaga gunung itu berkata, “Wahai Muhammad!Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan Gunung Akhsyabin ini ke atas mereka.”
Nabi dengan lembut berkata kepada Jibril dan malaikat penjaga gunung, “Walaupun mereka menolak ajaran Islam, aku berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya.”
Nabi bahkan berdoa yang artinya, “Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui”.
Begitulah lemah lembut dan kasih sayang Nabi ﷺ kepada umatnya khususnya dan umat manusia pada umumnya.
Setelah masa-masa yang berat ini, Allah membukakan Baitul Maqdis. Rasulullah ﷺ seperti dihibur dengan Baitul Maqdis.
Dari sini kita bisa mengambil inspirasi bagaimana Baitul Maqdis menjadi pusat harapan, pusat kebahagiaan. Karena, Rasulullah ﷺ setelah melewati titik terendah dalam hidupnya, seakan-akan grafiknya langsung naik, karena Allah menghibur Nabi ﷺ dan memperjalankan Beliau ﷺ ke Baitul Maqdis, sebagaimana yang kita baca dalam Surah Al-Israa’ ayat 1.
Isra’ Mi’raj merupakan bukti betapa sentralnya posisi Baitul Maqdis, karena jika Allah yang Maha Berkuasa berkehendak, bisa saja bagi Allah untuk menaikkan Rasulullah ﷺ ke langit itu langsung dari Makkah, tanpa melewati Baitul Maqdis.
Ada pesan lain dari peristiwa Isra’ Mi’raj karena Rasulullah diperjalankan dulu ke Baitul Maqdis, ke negeri para nabi, dan kemudian baru dari situ diangkat ke langit dan menerima perintah shalat lima waktu. Yang kemudian diturunkan lagi ke Baitul Maqdis, dan kembali ke Makkah, hanya dalam waktu semalam.
Di saat penduduk Makkah gempar dengan peristiwa Isra’ Mi’raj ini, maka Kaum kafir Quraisy langsung menceritakan kepada Abu Bakar dengan maksud menghasut. Ternyata di luar dugaan, keimanan Abu Bakar memang sangat luar biasa.
Abu Bakar tidak melihat langsung, tidak berada di lokasi. Namun, ketika mendengar bahwa yang menyampaikan berita adalah Nabi ﷺ, maka tanpa ragu sedikitpun, Abu Bakar menjawab bahwa bila ini dikatakan oleh Nabi Muhammad ﷺ, maka itu pasti benar.
Ini sebuah mukjizat. Karena perjalanan dari Makkah ke Baitul Maqdis itu normalnya membutuhkan waktu dua bulan pulang pergi. Sementara Nabi ﷺ diberangkatkan menggunakan buroq hanya dalam waktu semalam, pulang pergi.
Peristiwa ini juga menjadi pesan bagi kita, bagaimana Baitul Maqdis menjadi titik sentral dalam Isra’ Mi’raj. Artinya, kita perlu fokus pada Baitul Maqdis. Karena Allah mementingkannya, maka kita pun harus mementingkannya.
Terkait tentang Isra’ Mi’raj ini juga ada kisah yang terkait dengan Shahabat yang mulia, Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Karena di dalam peristiwa Isra’ Mi’raj ini, Nabi ﷺ dicaci maki saat kembali ke Makkah. Perjalanan yang hanya mengambil waktu selama semalam ini, seakan-seakan seperti khayalan saja untuk orang yang hanya mengandalkan logika, terutama untuk kaum kafir Quraisy.
Pada saat itu, rencananya kaum Kafir Quraisy memanfaatkan momentum ini untuk melemahkan Islam di Makkah. Mereka ingin menggiring opini bahwa Nabi ﷺ berbohong.
Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu. Yang membenarkan. Yang beriman dengan utuh. Saat ini, Beliau menjadi penentu. Karena saat beliau membenarkan, maka masyarakat Makkah yang telah beriman kemudian menjadi stabil lagi. Dari sinilah Abu Bakar mendapatkan gelar Ash-Shiddiq. Gelar yang berhubungan dengan peristiwa Isra’ Mi’raj. Gelar yang berhubungan dengan Baitul Maqdis.
I
Jadi rangkaian peristiwa di Makkah ini telah memperlihatkan bagaimana ikatan hati, jiwa, dan pikiran ummat Islam telah tersambung sangat kuat dengan Baitul Maqdis dan Masjidil Aqsha.
Inilah fondasi awal bagaimana Nabi ﷺ mendidik para Shahabat di fase Makkah.
òo ikatan hati, jiwa dan pikiran Ummat Islam yang telah terjalin kuat dengan Baitul Maqdis.
Di antaranya adalah banyaknya hadits-hadits yang turun berkaitan dengan keutamaan Baitul Maqdis yaitu:
• Kabar gembira yang disampaikan Rasulullah ﷺ pada perang Tabuk, bahwa di antara tanda kiamat adalah peristiwa pembebasan Baitul Maqdis.
• Dan saat di Madinah, Baitul Maqdis menjadi bahan diskusi dalam kehidupan sehari-hari kaum Muslimin, baik kalangan dewasa, anak-anak, laki-laki, perempuan, atau pun di kalangan hamba sahaya.
Sebagaimana Hadits Maimunah binti Sa’d: Dari Maimunah -bekas sahaya Nabi ﷺ- bahwasanya dia pernah berkata, “Wahai Rasulullah, fatwakan kepada kami tentang Baitul Maqdis.”
Maka, Beliau bersabda: “Datangilah ia dan shalatlah di dalamnya – ketika di negeri tersebut sedang terdapat peperangan – jika kalian tidak dapat shalat di dalamnya maka utuslah seseorang membawa minyak (yang dengannya) dinyalakan di lentera-lenteranya.“
*Disarikan dari kajian Ahad Kesayangan “Mari Kembali ke Negeri Para Nabi” dengan pemateri Ahmad Dawamul Muthi (Peneliti ISA, Institut Al-Aqso untuk Riset Perdamaian)