Hikmah Umrah di Bulan Ramadhan dari Perspektif Sosiologi Organisasi

Sapto Waluyo tawaf depan Kakbah
Salah seorang jamaah sedang melakukan thawaf di Masjidil Harom, Makkah. (Dok: Ihrom.co.id)

Bermedia.id – Umat Islam di seluruh dunia menyambut gembira datangnya bulan suci Ramadhan. Kegembiraan bertambah dengan dilonggarkannya aturan untuk melaksanakan ibadah umrah. Sehingga kaum Muslimin berbondong-bondong dari berbagai negara menuju Tanah Suci Mekah.

Labbaik allahumma labbaik. Labbaik laa syarika laka labbaik. Innal hamda wa ni’mata laka wal mulk. Laa syarika lak.” Begitulah seruan para jamaah menyambut panggilan umrah. Ibadah umrah, sebagaimana haji, sesungguhnya adalah menapaktilasi kembali jejak perjuangan Nabi Ibrahim dan keluarganya.

Bacaan Lainnya

Rukun umrah ada 5 yakni: ihram (memakai pakaian putih tak berjahit untuk lelaki Muslim dan menutup aurat bagi kaum Muslimat), thawaf (mengelilingi Ka’bah sebanyak 7 putaran), sa’i (berjalan dari bukit Shafa ke Marwa), bercukur atau tahallul, dan tertib.

Perbedaan ibadah haji dan umrah adalah jamaah haji wajib untuk melakukan wukuf (berdiam) di padang Arafah. Sementara jamaah umrah tidak melakukan wukuf.

Tiap jamaah mendapat hikmah tersendiri dalam pelaksanaan ibadah umrah. Penulis bersyukur dapat melaksanakan ibadah pada awal Ramadhan tahun ini. Dalam kaitannya dengan interaksi sosial dan pembinaan organisasi, kita dapat memetik hikmah berikut ini sebagai relfeksi.

Pertama, memakai Ihram:

Pakaian putih yang tidak berjahit bagi kamu Muslimin, sementara kaum perempuan Muslimat hanya diwajibkan berpakaian yang menutup aurat. Pakaian putih menandakan bahwa kita harus “menanggalkan” segala baju kebesaran dan kesombongan, sebab kita terlahir sebagai anak manusia juga tidak memakai baju sehelai pun. Maka, kita akan kembali kepada Allah Ta’ala hanya dengan memakai kain kafan, mirip dengan ihram
Ihram harus dilakukan di satu titik berangkat (starting point) atau Miqat.

Sejak saat itu, ketika pakaian ihram dikenakan dan niat umrah diucapkan, maka segala bentuk larangan harus dijauhi, antara lain: memakai pakaian berjahit, memakai tutup kepala, memakai wewangian, berhubungan suami-isteri dan lainnya. Di sini peran motivasi dalam mengarahkan segala tindakan dan amal manusia. Motivasi yang kuat akan mempermudah jalan yang ditempuh dan meringankan beban yang ditanggung.

Dalam teori motivasi Abraham Maslow, manusia memiliki hirarki kebutuhan yang harus dipenuhi: mulai dari kebutuhan fisiologis (makan-minum) sampai aktualisasi diri. Motivasi beribadah merupakan puncak dari kebutuhan manusia, sebab akan membawa “keselamatan” di dunia-akhirat, meraih “kemenangan” yang besar. Motivasi beribadah mendorong energi terbesar dalam diri manusia.

“Katakanlah: Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS Al-An’am: 162)

Kedua melakukan Thawaf:

Kita memulainya dari sudut Hajarul Aswad (batu hitam yang berasal dari surga). Berputar ke arah kanan, berlawanan dengan arah jarum jam. Seakan-akan kita memutar kembali (turn back) perjalanan hidup yang sudah kita lalui di masa lalu, sambil merenungkan perjuangan Nabi Ibrahim (Bapak para Nabi) dan Nabi Muhammad Saw (Penghulu para Nabi).

Pada saat melakukan thawaf, perhatian kita terpusat kepada Ka’bah, bangunan kuna yang sudah ada sejak zaman Nabi Adam, namun didirikan kembali oleh Nabi Ibrahim dan Ismail putranya. Ka’bah berbentuk sangat sederhana (kubus), tidak ada ornamen apapun, kecuali kisywah (penutup) yang baru dibuat pada masa modern. Melalui thawaf kita berlatih untuk focusing, yakni memusatkan perhatian pada visi dan misi organisasi, sehingga menjadi jelas orientasi/tujuan yang hendak ditempuh/dicapai.

Kegagalan seseorang atau sebuah institusi dalam mencapai tujuan seringkali disebabkan tidak fokus kepada visi dan misi yang sudah dicanangkan. Akibatnya, semua energi yang dikeluarkan menjadi sia-sia, pergerakan dan pengambilan putusan pun kacau-balau.

Thawaf di permukaan bumi telah mempersatukan jutaan manusia untuk tertuju perhatiannya: hanya kepada Ka’bah. Dari atas langit, kita bisa menyaksikan seluruh pergerakan manusia yang paling solid (sepanjang waktu) sebenarnya hanya mengelilingi Ka’bah. Sementara gerakan dan tindakan lain hanya aksesori.

Bahkan, jauh di angkasa luas, bila kita gunakan teleskop: benda-benda langit berputar pada pusat tatasurya, disamping berputar pada porosnya sendiri. Apakah yang menjadi tujuan hidup kita? Visi dan misi organisasi kita? Itulah yang harus dikejar. Jangan tertipu dan terhalang oleh segala bentuk godaan dan tantangan di sekitar.

Dari Mu’adz bin Jabal Ra, Rasulullah Saw bersabda: “Ketahuilah poros Islam itu senantiasa berputar. Maka, berputarlah kalian bersama al-Qur’an ke arah manapun dia berputar.” (HR At-Thabrani dalam Mu’jam as-Shaghir). Hadits ini merupakan kutipan dari hadits yang panjang, oleh para ahli hadits dinyatakan dhaif, namun maknanya sejalan dengan prinsip Islam.

Ketiga melakukan Sa’i:

Bukit Shafa dan Marwa menggambarkan target yang sering dikejar manusia. Dalam kasus Ibunda Hajar, ia mencari air untuk memberi minum bayi Ismail, karena air susunya sudah kering. Dia berpikir, seperti kebanyakan manusia, di atas kedua bukit itu akan ada sumber mata air (oase). Namun, ternyata Allah Ta’ala menunjukkan Kuasa-Nya: sumber mata air (zam-zam) justru yang berada di bawah kaki sang bayi Ismail.

Apakah itu berarti upaya Ibunda Hajar, berlari-lari dari bukit Shafa ke Marwa berkali-kali itu sia-sia? Tidak, tidak ada yang sia-sia dalam tindakan manusia, selama niyatnya ikhlas (untuk memberi minum bayi yang kehausan). Bung Karno, Proklamator Kemerdekaan RI sering menyatakan: “No sacrifice is wasted (tak ada pengorbanan yang sia-sia)”, untuk mengapresiasi perjuangan para Pahlawan. Tetapi, patut diingat bahwa sumber solusi itu kadang bukan berasal dari inisiatif yang kita lakukan. Allah Ta’ala membukakan jalan dari segala arah yang tidak terduga.

Setiap organisasi wajar menghadapi berbagai tantangan, berupa kelangkaan sumberdaya, terutama sumber finansial yang sangat terbatas. Kesulitan membangun basis sosial dan dukungan/perlindungan yang luas serta kokoh. Segala upaya (program dan inisiatif) harus dilakukan untuk memecahkan tantangan/kesulitan itu, namun jangan lupa dengan potensi yang dimiliki (mungkin masih berupa embrio/bayi).

Allah Ta’ala menegaskan dalam al-Qur’an (surat al-Baqarah ayat 158), bahwa Shafa dan Marwa merupakan bagian dari syiar (agama) Allah. Capaian-capaian politik di berbagai level harus dipahami dan dihayati sebagai karunia dan sekaligus ujian dari Allah Ta’ala. Tidak akan membuat terlena, karena bukan prestasi pribadi atau institusi, bukan pula karena kehebatan pesona/citra dan kemampuan sumberdaya. Sebaliknya, pengorbanan yang dikeluarkan untuk mencapai bukit Shafa dan Marwa, dengan segala penderitaan/kesakitan, tidak akan membuat patah semangat. Sebab, orientasi utama: menyebarluaskan syiar agama Allah.

Pada fase-fase tertentu, kita harus berlari-lari utnuk mengejar target yang sudah dicanangkan, karena keterbatasan waktu/deadline. Namun, hal itu dilakukan dengan penuh keseimbangan agar stamina tetap terjaga sampai akhir.

Keempat adalah Tahallul:

Memotong rambut kepala yang biasanya mencerminkan kualitas/status seseorang atau institusi. Kita harus potong dan buang segala atribut yang biasa dikenakan atau sering dibangga-banggakan karena rambut menandai sebagian kegantengan/kecantikan seseorang. Disunnahkan mencukur habis rambut agar penampilan seperti saat bayi dilahirkan. Kita kembali kepada potensi awal. Reborn.

Terakhir adalah Tertib: semua kegiatan dilakukan sesuai dengan urutan dan alur langkahnya. Tidak boleh dilompati atau ditinggalkan, sebab akan membatalkan ibadah yang dijalankan. Jika ingin melakukan umrah kedua, maka dapat dilakukan dari awal kembali dengan titik berangkat (miqat) yang mungkin berbeda.

Disiplin dalam berorganisasi sangat penting, sebab pencapaian tujuan dan mobilisasi sumberdaya akan efektif bila semua unit struktur dan anggota taat pada aturan dan arahan Pimpinan. Ibadah yang dilakukan secara kolektif bersama ratusan ribu atau jutaan jamaah akan berantakan, jika satu orang saja melanggar disiplin. Sudah banyak kita mendengar insiden menyedihkan akibat Sebagian jamaah yang ingin mengambil jalan pintas.

Tidak ada shortcut untuk meraih kemenangan dan menggapai ridha Allah Ta’ala. Semua perlu kerja keras, cerdas, ikhlas, dan tuntas. Motivasi yang kuat, mengatur stamina dan berdisiplin: itu kunci utama.

 

Sapto Waluyo,
Pembina Center for Indonesian Reform (CIR)

Pos terkait