Hikayat Pondok Gede

Hikayat Pondok Gede
Gedung Tua di Kawasan Pondok Gede zaman dulu. (Dok: SejarahJakarta.com)

Bermedia.id – Beberapa waktu lalu ada peluncuran buku tentang sejarah Pondok Gede karya Bang Gusman Jagad. Saya belum ngerti Isinya karena saya belum baca. Lagi pula saya juga ngak tahu apa yang pembahasannya lantaraan waktu bedah buku tersebut saya ngak hadir.

Tapi sebagai penulis yang sudah profesional beliau pasti butuh waktu lama untuk riset. Saya sangat mengapresiasi karya beliau karena mengingatkan kembali tentang sejarah Pondok Gede yang lambat laun semakin terlupakan.

Bacaan Lainnya

Kita berharap buku ini bisa jadi sumber pengetahuan buat anak cucu kita. Sekaligus menjadi pelecut ingatan tentang sejarah Pondok Gede.

Kalau inget Pondok Gede jadi terkenang masa kecil dulu. Masa ketika masih tinggal bareng Uwak di sekitaran Rawa Binong. Umur saya sekitaran usia 7 tahun. Pada masa usia tersebut kita sedang senang-senangnya bermain.

Ikut teman yang lebih tua usianya. Kita main di sekitaran gedung tua Pondok Gede. Gedung yang dulu berdiri megah, dengan ornamen gaya Eropa. Gedung itu benar-benar mencolok keberadaanya di tengah sekitaran rumah penduduk dan gedung tinggi yang waktu itu belum ada.

Kampret dan Kelelawar

Sekitaran gedung tua itu menyengat aroma bau kencing kampret atau kelalawar. Baunya sampai keluar karena banyaknya kelalawar yang bersarang di gedung tua tak berpenghuni tersebut. Tapi anehnya kita bergeming main di situ. Berlarian dan ketika sudah letih kita pada istirahat di bawah pepohonan yang ada di pelataran gedung. Waktu itu masih masih banyak pohon-pohon besar di sekeliling gedung. Ada pohon sengon, pohon asem, pohon karet dan lain-lain.

Sambil istirahat kita nutur buah asem dan biji karet yang berjatuhan. Kegiatan yang sangat menyenangkan bagi anak-anak di zaman itu. Zaman belum ada gadget dan hape. Orang dulu mainannya paling orang-orangan sama mobil-mobilan. Itu juga dapatnya dari timbunan sampah dekat Kuburan Cina di belakang Pasar lama.

Kalau kita mau jajan ngak minta ke orang tua. Biasanya kita metikin daun waru di bantaran Kali Sunter, terus kita jual ke toko bahan-bahan dapur. Bisa juga jual ke tukang ikan asin di Pasar lama. Dulu yang namanya daun waru sangat perlu buat alat bungkus belanjaan dapur, seperti ikan asin, terasi, garem, cabe, bawang dan lain -lain.

Atau yang lebih praktis, dulu kita tinggal ngambil es ke tauke. Bos es bon-bon yang terkenal waktu itu. Lalu kita jualin di Pasar Pondok Gede lama. Dulu arealnya dari perempatan Pondok Gede, samping Toko Ko Pesek, sampai ke kuburan Cina, yang menuju komplek Wisma Kusuma Indah. Kalau Es ngak habis terjual di pasar, kita kelilingin dah di kampung sekitar.

Habis dagang es punya duit. Duitnya kita pake jajan permen kojek, beli kerupuk sayong atau gulali. Kita makan sepanjang jalan kembali ke Rawa Binong yang masih perkebunan dan sawah-sawah. Itu yang namanya pasar lama dan kampung sekitarnya seperti pulau yang di kelingi sawah-sawah dan perkebunan penduduk.

Ngegeresek

Sambil jalan pulang ke rumah biasanya ada saja yang kita bawa biar enyak dan baba ngak marah. Biasanya kita metik kangkung rawa, genjer dan eceng sawah. Atau bisa juga metikin timun sisa panen atau bahasa dulunya ngegresek timun.

Dulu yang namanya orang Rawa Binong, pagerarang kalau mau ke pasar harus menyebrangi Kali Sunter. Lewat sawah, kebon karet, kandang belang (Pura Melati sekarang), deretan semak belukar dan pohon pandan yang memenuhi jalan menuju kampung belakang pasar lama.

Pemandangan indah kala siang. Banyak perkebunan dan pesawahan yang berundak-undak menghijau kala musim tanam padi atau menguning saat padi sudah hendak panen. Banyak burung bernyayi di pepohonan dan Matahari yang terbit indah muncul di antara dedaunan.

Tapi suasana akan terasa senyap usai maghrib menjelang. Tak ada lagi yang berani lewat karena suasana gelap dan terkesan menyeramkan. Apalagi banyak terjadinya pembegalan, perkosaan di daerah tersebut.

Pos terkait