Niat Ikhlas Adalah Kunci Utama Menggapai Rihdo Allah

Hijrah
Ilutrasi hijrah (Dok: Kopibareng.com)

قَالَ اللَّه تعالى : { وَمَا أُمِرُوا إِلاَّ لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ وَيُقِيمُوا الصَّلاةَ وَيُؤْتُوا الزَّكَاةَ وَذَلِكَ دِينُ الْقَيِّمَةِ } .

Allah Ta’ala berfirman: “Dan tidaklah mereka itu diperintahkan melainkan supaya menyembah Allah dengan tulus dan ikhlas menjalankan agama untuk-Nya. Berdiri lurus dan menegakkan shalat serta menunaikan zakat. Yang sedemikian itulah agama yang benar.” (al-Bayyinah: 5)

وقَالَ تعالى : { لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ } .

Allah Ta’ala berfirman pula: “Sama sekali tidak akan sampai kepada Allah daging-daging dan darah-darah binatang kurban itu. Tetapi akan sampailah pada-Nya ketaqwaan dari engkau sekalian.” [1] (al-Haj: 37)

وقَالَ تعالى : { قُلْ إِنْ تُخْفُوا مَا فِي صُدُورِكُمْ أَوْ تُبْدُوهُ يَعْلَمْهُ اللَّهُ } .

Allah Ta’ala berfirman pula: “Katakanlah – wahai Muhammad [2], sekalipun engkau semua sembunyikan apa-apa yang ada di dalam hatimu ataupun engkau sekalian tampakkan, pasti Allah mengetahui.” (ali-Imran: 29)

وعَنْ أَميرِ الْمُؤْمِنِينَ أبي حفْصٍ عُمرَ بنِ الْخَطَّابِ بْن نُفَيْل بْنِ عَبْد الْعُزَّى بن رياح بْن عبدِ اللَّهِ بْن قُرْطِ بْنِ رزاح بْنِ عَدِيِّ بْن كَعْبِ بْن لُؤَيِّ بن غالبٍ القُرَشِيِّ العدويِّ . رضي الله عنه ، قال : سمعْتُ رسُولَ الله صَلّى اللهُ عَلَيْهِ وسَلَّم يقُولُ « إنَّما الأَعمالُ بالنِّيَّات ، وإِنَّمَا لِكُلِّ امرئٍ مَا نَوَى ، فمنْ كانَتْ هجْرَتُهُ إِلَى الله ورَسُولِهِ فهجرتُه إلى الله ورسُولِهِ ، ومنْ كاَنْت هجْرَتُه لدُنْيَا يُصيبُها ، أَو امرَأَةٍ يَنْكحُها فهْجْرَتُهُ إلى ما هَاجَر إليْهِ » متَّفَقٌ على صحَّتِه. رواهُ إِماما المُحَدِّثِين: أَبُو عَبْدِ الله مُحَمَّدُ بنُ إِسْمَاعيل بْن إِبْراهيمَ بْن الْمُغيرة بْن برْدزْبَهْ الْجُعْفِيُّ الْبُخَارِيُّ، وَأَبُو الحُسَيْنِى مُسْلمُ بْن الْحَجَّاجِ بن مُسلمٍ القُشَيْريُّ النَّيْسَابُوريُّ رَضَيَ الله عَنْهُمَا في صَحيحيهِما اللَّذَيْنِ هما أَصَحُّ الْكُتُبِ الْمُصَنَّفَة

Umar bin Al-khaththab berkata: Saya mendengar Rasulullah shalallahu alaihi wasalam bersabda [3]: Bahwasanya semua amal perbuatan tergantung niat. Barangsiapa yang hijrahnya itu kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya itupun kepada Allah dan RasulNya.

Dan barangsiapa yang hijrahnya itu untuk harta dunia ataupun untuk seorang wanita, maka hijrahnyapun kepada sesuatu yang tersebut. (Muttafaq ‘alaih -sepakat atas keshahihannya hadits ini karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim)

Keterangan:

Bermedia.id – Hadis di atas adalah berhubungan erat dengan persoalan niat. Rasulullah shalallahu alaihi wasalam menyabdakannya itu karena ada beberapa sahabat Nabi shalallahu alaihi wasalam berhijrah semata-mata karena terpikat oleh seorang wanita. Beliau shalallahu alaihi wasalam mengetahui maksud orang itu, lalu bersabda sebagaimana di atas.

Oleh karena orang itu memperlihatkan sesuatu yang bertentangan, maka sebenarnya tidak patut sekali. Sebab saat itu sedang dalam suasana yang amat genting dan rumit. Maka Rasulullah shalallahu alaihi wasalam segera menegurnya.

Bayangkanlah, betapa anehnya orang yang berhijrah dengan tujuan memburu wanita. Padahal sahabat beliau shalallahu alaihi wasalam yang lain-lain bertujuan menghindarkan diri dari amarah kaum kafir dan musyrik. Ada pula yang hijrah untuk kepentingan penyebaran agama dan keluhuran Kalimatullah. Bukankah tingkah-laku manusia sedemikian itu tidak patut sama-sekali.

Hijrah Kosong

Jadi oleh sebab niatnya sudah keliru, maka pahala hijrahnyapun kosong. Lain sekali dengan sahabat-sabat beliau shalallahu alaihi wasalam yang ikhlasbersusah payah menempuh jarak untuk menyelamatkan keyakinan kalbunya.

Pahalanyapun besar sekali karena hijrahnya memang untuk mengharapkan keridhaan Allah dan RasulNya. Sekalipun datangnya hadits itu mula-mula tertuju pada manusia yang salah niatnya ketika ia mengikuti hijrah, tetapi sifatnya adalah umum.

Para imam mujtahidin berpendapat bahwa sesuatu amal itu dapat sah dan menjadi sempurna apabila berdasarkan niat. Niat itu ialah sengaja yang tersembunyi di dalam hati, ialah seperti ketika mengambil air shalat atau wudhu’, mandi, shalat dan lain-lain sebagainya.

Perlu pula kita maklumi bahwa barangsiapa berniat mengerjakan suatu amalan yang bersangkutan dengan ketaatan kepada Allah ia mendapatkan pahala. Demikian pula jikalau seorang itu berniat hendak melakukan sesuatu yang baik, tetapi tidak jadi melakukan, maka dalam hal ini orang itupun tetap juga menerima pahala.

Ini berdasarkan hadits yang berbunyi: “Niat seorang itu lebih baik daripada amalannya.” Maksudnya: Berniatkan sesuatu yang tidak jadi terlaksana sebab adanya halangan adalah lebih baik daripada sesuatu kelakuan yang benar-benar terlaksana, tetapi tanpa niat apa-apa.

Hanya saja dalam menetapkan wajibnya niat atau tidaknya, agar amalan itu menjadi sah, maka ada perselisihan pendapat para imam mujtahidin. Imam-imam Syafi’i, Maliki dan Hanbali mewajibkan niat itu dalam segala amalan, baik yang berupa wasilah yakni perantaraan seperti wudhu’, tayammum dan mandi wajib, atau dalam amalan yang berupa maqshad (tujuan) seperti shalat, puasa, zakat, haji dan umrah.

Tetapi imam Hanafi hanya mewajibkan adanya niat itu dalam amalan yang berupa maqshad atau tujuan saja sedang dalam amalan yang berupa wasilah atau perantaraan tidak diwajibkan dan sudah dianggap sah. Adapun dalam amalan yang berdiri sendiri, maka semua imam mujtahidin sependapat tidak perlunya niat itu, misalnya dalam membaca al-Quran, menghilangkan najis dan lain-lain.

Kuat Beribadah

Selanjutnya dalam amalan yang hukumnya mubah atau jawaz (yakni yang boleh dilakukan dan boleh pula tidak), seperti makan-minum, maka jika disertai niat agar kuat beribadah serta bertaqwa kepada Allah atau agar kuat bekerja untuk bekal dalam melakukan ibadah bagi dirinya sendiri dan keluarganya, tentulah amalan tersebut mendapat pahala, sedangkan kalau tidak disertai niat apa-apa, misalnya hanya supaya kenyang saja, maka kosonglah pahalanya.

Sumber: Pusat Alquran Indonesia

Pos terkait