“Kang, mengapa di era distruptif teknologi dan menghadapi situasi pandemi, Akang masih menggeluti dunia perbukuan? Apakah Akang tidak pindah ke lain usaha? Bukankah ini era sunset dunia perbukuan? Bukankah sudah muncul e-book dan buku gratisan? Bukankah pembajakan buku begitu merajalela?” begitu kata seorang teman ngopi di sore hari memberondong dengan sekian pertanyaan dan berbagai argumen.
“Ini dunia saya!” Jawab saja. “Saya ada karena buku. Inilah jalan kehidupan Yang Maha Kuasa berikan kepada saya. Dan hampir tak ada kebisaan saya lebih baik daripada ngurus buku. Saya telah menjadi pegiat buku hampir 30 tahun. Perkara distruptif teknologi, pandemi, e-book, buku gratisan, pembajakan buku dan seabreg persoalan lainnya, itu hanyalah soal-soal yang perlu saya hadapi. Tantangan yang harus disiasati. Tak lebih tak kurang.
Baca juga: Dinosaurus, Sekolah dan Teknologi
Dan dalam kondisi seperti sekarang ini kita perlu selalu adaptif dengan berbagai kondisi. Dari sikap adaptif itulah akan lahir inovasi. Berbagai jawaban atas permasalahan yang ada. Dan ingat untuk mewujudkannya kita pun tak bisa jalan sendirian, makanya butuh kesadaran untuk berkolaborasi. Dan saya pun teringat ucapan seorang bijak tentang air.
“Air adalah benda yang paling lembut. Meski begitu, ia dapat menembus gunung dan bumi. Ini sangat jelas menunjukkan prinsip kelembutan menaklukan kekerasan.
Saat terlahir, manusia lembut dan lentur. Saat mati, manusia kaku dan keras.
Tananam tumbuh lembut dan lunak, saat mati rapuh dan kering.
Siapa pun yang kaku dan keras adalah murid kematian, sementara mereka yang lembut dan dan lentur adalah murid kehidupan.
Yang keras dan kaku akan pecah.
Yang lembut dan lentur akan menang.”