Pergolakan yang pernah terjadi di Amerika Serikat, berupa aksi massa sebagai bentuk protes terhadap kematian George Floyd akibat tindakan oknum aparat keamanan menjadi babak baru dalam aksi dan gerakan massa yang pernah terjadi. Sebelumnya, di Tunisia juga pernah terjadi aksi yang hampir sama. Aksi dan gerakan massa yang memprotes tindak kekerasan oleh petugas keamanan terhadap seorang pedagang kecil bernama Mohamed Bouzizi. Aksi ini kemudian menjadi gelombang besar yang menyebabkan Zine El Abidine Ben Ali mengundurkan diri dari kursi presiden.
Kedua peristiwa tersebut menjadi penanda bahwa sebesar apapun kekuasaan, yang digunakan secara represif dan sewenang-wenang, maka akan mendapat perlawanan yang setimpal atau lebih besar dari kekuasaan yang ada. Dan perlawanan dari orang-orang kecil tersebut akan menjadi kerikil di dalam sepatu bagi penguasa, yang memaksa pengguna sepatu melepaskan sepatu yang dikenakan, karena sakitnya kaki saat ada kerikil di dalam sepatu.
Lewis Coser, sosiolog terkenal jauh sebelum kedua peristiwa tersebut sudah memprediksi, bahwa saat kekuasaan dalam bentuk apapun yang memiliki kekuatan besar sekalipun, digunakan untuk menyerang pihak atau kelompok lain. Maka pelan tapi pasti, langsung atau tidak langsung akan memberi kekuatan pada kelompok yang diserang untuk melakukan hal yang sama terhadap kekuasaan dan kekuatan yang telah lebih dulu menyerang (Coser, 1967). Maknanya adalah kekuasaan yang dilakukan secara represif hanya akan melahirkan perlawanan yang represif pula.
Penguasa, atau orang-orang yang berada di lingkaran atau puncak kekuasaan, perlu ingat dan sadar betul, bahwa saat ini dirinya hidup di era demokrasi. Era demokrasi yang sudah semakin liberal. Liberalitas demokrasi diukur dari semakin terefleksikannya apa yang disebut dengan kedaulatan rakyat. Penguasa adalah pihak yang mendapat daulat dari rakyat untuk mengatur urusan mereka. Karena itu mereka mendapat gaji, tunjangan dan fasilitas yang diambil dari uang yang dibayarkan oleh rakyat berupa pajak, retribusi dan lain-lain. Sehingga tidak wajar, jika sikap dan kebijakan yang dibuat menyalahi apa yang menjadi kehendak rakyat.
Larry Diamond seorang ahli demokrasi mengajak para pegiat demokrasi, termasuk negara-negara yang sudah lama dan mapan berdemokrasi untuk memberi kesempatan seluas-luasnya terhadap kompetisi yang fair terhadap individu dan kelompok yang ada. Selain itu kekuasaan memberikan kesempatan bagi kekuatan politik untuk berpartisipasi demokrasi baik di dalam maupun di luar pemerintahan. Dan yang terakhir adalah, keniscayaan untuk menghadirkan kebebasan bagi seluruh rakyat, kebebasan sipil dan politik, kebebasan untuk menyampaikan pendapat, gagasan, kritik, saran dan juga protes, tidak ada tindakan represif terhadap orang yang melakukan protes (Diamond, 2003).
Demokrasi tidak boleh berhenti pada taraf demokrasi normatif atau sebatas prosedural formal. Namun demokrasi saatnya masuk ke dalam taraf demokrasi deliberatif. Demokrasi yang betul-betul menghargai hak-hak dan kedaulatan rakyat. Abraham Lincoln sudah menegaskan esensi demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat (from the people by the people for the people). Demokrasi deliberatif tersebut kemudian disegarkan ulang oleh Jurgen Habermas, di mana setiap kebijakan yang dibuat oleh penguasa harus disampaikan kepada rakyat, dinilai rakyat dan diuji oleh rakyat, jika sepakat mereka akan memberi persetujuan, jika tidak mereka akan menyatakan penolakan (Habermas, 1994).
Demokrasi deliberatif secara mutlak mengakui asas kesetaraan rakyat dan penguasa di dalam hal apa saja. Tidak hanya di dalam hukum (equality before the law), namun juga di dalam mendapatkan fasilitas pelayanan, akses pendidikan dan kesehatan. Asas kesetaraan berbarengan dengan asas keadilan, sebagaimana yang sering diungkap oleh John Rawls, filsuf modern. Malah ada asas afirmasi dalam keadilan, yaitu saat penguasa dihadapkan pada pilihan untuk membela yang kuat atau yang lemah, penguasa harus berpihak kepada yang lemah, karena yang kuat tanpa dibela sudah tetap kuat (Rawls, 1973).
Dengan begitu, kekuasaan yang diberikan kepada rezim penguasa akan tetap mendapatkan legitimasi (legitimate power). Tidak ada alasan bagi rakyat untuk mengambil alih atau memprotes penggunaan mandat tersebut, karena memang digunakan untuk membela yang lemah. Kalaupun itu dikatakan sebagai pemberian hak yang istimewa, maka begitulah kekuasaan, memang terkadang memberi hak istimewa kepada yang lemah seperti yang disebut Rawls sebagai afirmasi.
Namun jika yang terjadi sebaliknya, penguasa yang memiliki kekuasaan, memberikan hak istimewa kepada satu kelompok yang dipimpin (reward power), pada saat yang sama memperlakukan orang-orang kecil dengan cara negatif (coercive power), maka orang kecil yang merasa menjadi korban akan mengumpulkan kekuatan mereka untuk membuat sebuah perlawanan baru yang lebih besar yang bisa jadi menjatuhkan penguasa, atau paling tidak mengurangi legitimasi kekuasaan.