“Kang, apa ujian pertama saat Akang berniat berhenti menjadi karyawan dan berencana memulai sebuah bisnis?” Tanya seorang sahabat yang sudah lama tak jumpa.
Ujian pertama datang dari orang terdekat saya. Saya harus meminta izin dan pendapat istri. Sebab, konsekuensi dari tindakan saya akan berdampak pada keluarga saya. Bagaimanapun istri saya sangat mengerti saya. Dia paham karakter, impian, mental, dan daya juang saya. Dan saya harus meyakinkan istri saya bahwa apa yang saya lakukan masuk akal, rasional, dan berprospek baik.
Istri-lah orang pertama yang harus paham dan yakin bahwa impian, konsep bisnis, jaringan, kompetensi, dan modal yang saya miliki sudah memadai. Jika istri sudah yakin, maka inilah kekuatan dan energi mumpuni untuk memulai bisnis. Sebab, sistem berpikir kita sebagai pasangan sudah berada pada gelombang yang sama.
Saat tahun-tahun awal berbisnis penghasilan saya turun drastis dibawah 30%, istri saya berjuang untuk mencukupkan. Dan pasti itu tidak mudah. Perlu jurus akrobat untuk menyiasatinya. Butuh daya tahan untuk tak mengeluh dan bertahan dengan segala cara. Butuh penyesuaian gaya hidup. Namun, inilah energi yang luar biasa supaya saya fokus mewujudkan impian berbisnis menjadi kenyataan.
Mungkin benar kata seorang bijak, “Tak ada yang mudah untuk mewujudkan cita-cita. Yang mudah itu menyerah kalah!” Tabik.