Tidakkah kita ingin dikenang seperti Sa’id bin Al-Ash, salah satu sahabat nabi yang dikenal dengan sifat kedermawanannya. Sahabat nabi yang bersahaja meskipun lahir dan hidup dari keluarga kaya raya.
Ia adalah salah satu sahabat yang dapat menjadi teladan terbaik dalam melaksanakan nilai-nilai Islam. Perilakunya menyenangkan, sikapnya menentramkan.
Nama lengkapnya Sa’id bin al’Ash bin Sa’id bin al-Ash bin Umayyah bin Abdu Syam bin Abdu Manaf al-Umawiy. Ia keturunan keluarga pembesar Quraish. Ayahnya wafat di laga Perang Badar sebelum memeluk Islam.
Ketika kecil ia hidup dan diasuh oleh keluarga Utsman bin Affan. Usianya baru 9 tahun ketika Rasulullah saw wafat.
Sejak kecil Sa’id hidup bersahaja. Ia dikenal ramah dan suka menolong siapa saja. Kebiasaan baik ini berlanjut hingga Sa’id dewasa.
Tetangga Istimewa
Suatu ketika, Muhammad bin Jahm al-Barmaki (gubernur pada masa Khalifah Al-Ma’mun) bermaksud menjual rumahnya. Beberapa orang berkumpul dan salah seorang di antara mereka membayar rumah itu seharga 50.000 dirham.
Muhammad bin Jahm berkata kepada si pembeli, “Ambillah rumah ini dan berbahagialah serta bersenang-senanglah!”
“Mengapa demikian?” tanya si pembeli heran.
Dijawab oleh Muhammad bin Jahm al-Barmaki, “Karena rumah ini berdampingan dengan rumah Sa’id bin al-Ash.”
Lalu pembeli bertanya kembali, “Bagaimana perilakunya terhadap para tetangga?”
“Jika kamu meminta sesuatu dia pasti akan memberi. Bila kamu tidak meminta, dia akan menawarkan diri. Bila kamu menyakitinya ia akan membalasnya dengan kebaikan. Dan bila ia berbuat baik kepadamu, ia tidak akan menceritakannya kepada orang lain.”
Cerita ini sampai ke telinga Sa’id bin al-Ash. Ia pun memberi Muhammad bin Jahm 100.000 dirham seraya berkata, “Ambillah uang ini dan urungkan niatmu untuk menjual rumah!”
Sunggu mulia sikap Sa’id yang tidak tega membiarkan tetangganya kesusahan.
Pada tahun 30 H khalifah Utsman bin Affan mengangkatnya sebagai penguasa di Kufah. Said termasuk pembantu khalifah dalam program pengkodifikasian Al-Qur’an. Pernah juga menjadi gubernur Madinah di era Muawiyyah bin Abi Sufyan.
Ia wafat di Madinah dan dikuburkan di kompleks pemakaman Baqi’.
Wasiat
Di usianya yang tak lagi muda, Sa’id mengalami sakit. Sebelum wafat beliau meninggalkan wasiat penting untuk anak-anaknya, agar mereka tidak menghilangkan kebiasaannya berbagi dan memberi.
Ia berujar: “Wahai anakku, jangan kalian hilangkan saudara-saudaraku dariku (setelah kematianku), kunjungilah mereka sebagaimana aku mengunjungi (mereka). Perlakukanlah mereka sebagaimana aku perlakukan (mereka).
Jangan (biarkan mereka mencari) perlindungan dengan meminta-minta. Karena sesungguhnya, ketika seseorang meminta (sesuatu) yang dibutuhkan(nya), persendiannya gemetar dan menggigil (karena malu), lidahnya kelu dan wajahnya pucat pasi. (Maka dari itu), cukupilah kebutuhan (mereka) sebelum (mereka) meminta.
Sungguh, aku tidak temukan wajah orang yang (sedang dalam kebutuhan), (kecuali) dia (terus) bergerak-gerak (gelisah) di atas tempat tidurnya sembari teringat akan kebutuhannya.
Kemudian dia mendatangi kalian karena kebutuhannya, (dan) aku tidak melihat, (meskipun) kebutuhannya terpenuhi, (dapat) menggantikan (rasa malu yang tampak) di wajahnya.
Karena itu, bergegaslah dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan mereka sebelum mereka (mendatangi kalian) terlebih dahulu untuk meminta(nya)” (Imam al-Hafidz Ibnu Abi Dunya, al-Ikhwân, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988, h. 223).
Sungguh mulia akhlak Sa’id. Cintanya pada kebaikan dibawa hingga akhir hayat. Allahuyarhum yaa Sa’id.