Paris versus New York: Membaca Semiotika Visual Nasionalisme di Media Sosial

Paris versus New York
Paris versus New York

Bermedia.id – Sosok sedikit tambun dengan lingkar perut off side yang mengenakan kaos dalam (singlet) tanpa baju, jaket atau overcoat (jas tebal panjang agar bisa meredam hawa dingin di luar) dan menggunakan sarung berlatar bangunan ikonik kota Paris, Menara Eifel menjadi pose sensasi foto lelaki bernama Marshel Widianto.

Sensasi komika, komedian ini menjadi semakin ‘pecah’ (istilah untuk suksesnya sebuah puncline dalam acara open mic dimana seorang komika berhasil memancing tawa) dengan tempelan stiker “sedot WC” di dinding pembatas dengan nomor kontak yang bisa dihubungi seperti biasa kita menemukan di tiang listrik, dinding, pagar atau area publik lain yang banyak tersebar di tanah air).

Marshel dan beberapa selebriti, termasuk para influencer media sosial memang sedang di Paris dalam rangka sebuah event promosi beberapa jemawa (brands) lokal yang sengaja dibawa untuk promosi – pemasaran.

Selain Marshel, turut dalam rombongan Ariel vokalis Noah, artis Anya Geraldine, kakak-beradik Ruben Onsu dan Jordi Onsu selebriti sekalgus pengusaha kuliner dan beberapa public figure dan para influencer lain.

Berbagai unggahan update aktivitas mereka muncul di feed dan instastory akun Instagram masing-masing, juga platform digital lain seperti Tiktok yang terekspose cukup masif.

Di era digital online, saat ini transparasi kehidupan seseorang terlebih public figure sudah layaknya ‘open kitchen’ sebuah gerai kuliner, terbuka dan menjadi ‘social display’ bagi khalayak follower atau pun non-follower mereka. Dari unggahan itu tentu diharapkan tanggapan, berupa like, comment, repost, mention atau stich sebagai bentuk impression bagi khalayak secara umum, dan engagement bagi followernya.

Di pekan yang sama, di belahan dunia lain Amerika Serikat sebuah warna budaya khas Indonesia juga memberi warna baru di wilayah ‘melting plot’ kota New York. Muncul dari tweet @pinotski seorang diaspora asal Indonesia dan kemudian diliput VOA Indonesia beberapa waktu kemudian.

Warkop NYC, yang berlokasi di 66 W 52nd St, New York, NY 10019, United States menyajikan kulineran khas warkop di seperti di Indonesia mie instant, bubur kacang ijo, bakwan, dan aneka gorengan lain. Warkop NYC menjadi tempat nongkrong dengan nuansa ‘lebih eksotik’ karena berada di lingkup kota Megapolitan Manhattan, New York. Setelah kuliner khas Tempe yang diolah dari kacang kedelai menggegerkan saat diperdagangkan di London, Inggris.

Munculnya Warkop NYC menambah duta kuliner anak bangsa yang melanglang di benua lain dan memperkenalkan pada lingkup masyarakat dunia yang lebih luas. Diplomasi budaya yang meskipun unofficially sudah membangun identitas nasional sebagai bangsa di ranah rantau.

Mungkin Warkop NYC bukan yang pertama, bahkan di kota-kota wilayah Belanda, kuliner khas Indonesia cukup banyak tempat makan yang menyajikan menu-menu Nusantara. Hal tersebut dimungkinkan karena secara sejarah ada pertalian antara Indonesia-Belanda di masa kolonial maupun sesudah kemerdekaan RI sehingga banyak komunitas Indonesia yang bermukim di Belanda, juga para pelarian politik masa Orde Baru serta mahasiswa Indonesia yang sedang studi pascasarjana di berbagai universitas ternama yang tersebar di berbagai wilayah Belanda.

Semiotika Visual Nasionalisme di Media Sosial

Unggahan dua kejadian di tempat terpisah kemudian menjadi bahasan di berbagai platform media sosial, viral dan trending topik. Netizen merespon dengan berbagai sikap, khususnya pada event yang digagas Gekrafs “Paris Fashion Show” dengan membawa beragam jemawa (brands) lokal dan dinilai memanfaatkan event dunia “Paris Fashion Week” (PFW) yang waktunya bersamaan. Dengan menggunakan hastag #PFW di beberapa unggahan, beberapa pendapat menilai mereka ‘nebeng’ popularitas PFW yang berpengaruh dan sudah mendunia.

Dilihat dari kontroversinya, kemudian menjadi viral dan trending topik bisa dikatakan berhasil menarik perhatian khalayak dan menjadi topik pemberitaan baik media mainstream maupun di media sosial. Beberapa pihak bahkan ada yang menilai sebagai pembohongan publik, karena telah melakukan klaim sepihak bahwa mereka berada di event besar PFW (yang pada faktanya, tidak di dalam event tersebut). Tentunya, reaksi negatif khalayak meskipun berhasil menjadi pembicaraan luas, namun dengan ‘tone’ yang negatif yang menjadi kontra-produktif dengan niat mengangkat beberapa jemawa (brands) local untuk lebih dikenal di tingkat internasional.

Berbeda dengan respon yang diberikan netizen di media sosial maupun liputan banyak media dengan pembukaan Warkop NYC yang disambut positif sebagai bagian dari diplomasi budaya melalui penyajian kuliner yang menjadi ciri khas Indonesia. Jika ditelaah secara semiotik visualnya, unggahan kedua peristiwa bukan hanya memberikan pesan (message) tapi juga memberikan sebuah makna (meaning).

Gagasan Semiotika dipelopori diantaranya oleh Ferdinand Sausere, Charles Sanders Peirce, Roland Barthes, Umberto Eco, memberikan pemahaman akan ‘makna’ melalui symbol dan makna yang terkandung dalam teks, gambar (visual), percakapan (suara) dalam bentuk media seperti lirik, syair, photo, film dan dialog percakapan (adegan).

Peristiwa yang pada awalnya menyebar melalui media sosial itu, yang kemudian menjadi bahan liputan media massa (mainstream media) dengan tujuan mengangkat jemawa (brands) lokal melalui event dunia (international) PFW, atau liputan launching gerai Warkop NYC layak untuk diapresiasi oleh semua masyarakat terlepas dari perbedaan ada yang resmi (officially) dengan sepenuhnya didukung pemerintah ataupun masyarakat yang berinsiatif mengenalkan budaya, identitas sebagai usaha meningkatkan nasionalisme baik di dalam negeri maupun anak bangsa yang berdiaspora tersebar di banyak wilayah luar negeri.

Diplomasi budaya melalui kuliner, seni, dan pendidikan di luar Kedutaan Indonesia yang secara formal menjadi perwakilan pemerintah dalam menjaga relasi formal dengan negara sahabat di berbagai negara, sangat layak untuk terus ditingkatkan baik melibatkan kalangan swasta, masyarakat atau komunitas yang berhubungan maupun kalangan diaspora yang sudah bermukim di berbagai belahan dunia. Berharap dari kedua peristiwa tersebut diambil hikmah dan pembelajaran yang banyak, sehingga tidak terjadi hal-hal yang tidak diharapkan dan menjadi kontra-produktif pada akhirnya.

“Indonesiaku tercinta, jaya-jayalah selalu. Merdeka!”

 

 

Paris versus New YorkRahman Asri, dosen tetap Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP – Universitas Al Azhar Indonesia (UAI), berlatar belakang praktisi media, advertsing, production house. Alumnus Sosiologi (S1), Magister Komunikasi (S2) dan sedang melanjutkan studi pada program doktoral ilmu komunikasi, FISIP-Universitas Indonesia (UI). Kini menekuni bidang kajian isu media dan jurnalisme, komunikasi politik, serta dampak perkembangan teknologi dan budaya e-mail: rahman.asri0716@gmail.com

Pos terkait