Jakarta – Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto minta program energi hijau jangan jadi bahan pencitraan Presiden Joko Widodo. Menurutnya program ini sangat penting untuk dilaksanakan namun mempunyai risiko yang sangat besar. Karena itu Pemerintah harus hati-hati melaksanakannya.
Mulyanto mengkrtisi pernyataan Presiden Joko Widodo saat membuka Gelaran The 10th Indonesia EBTKE ConEx 2021 (22/11/2021) yang menyatakan Pemerintah tidak ingin transisi energi membebani rakyat dan keuangan negara.
Perubahan Iklim
Mulyanto menilai pernyataan Joko Widodo bertolak belakang dengan yang disampaikan saat mengikuti konferensi tingkat tinggi perubahan iklim di Glasgow, beberapa waktu lalu.
Saat itu, Joko Widodo sesumbar menyatakan Indonesia siap melaksanakan program energi hijau. Tapi sekarang Presiden malah mengeluh kesulitan merealisasikan program ini.
“Sekarang terbukti, apa yang Presiden katakan di KTT perubahan iklim hanya pencitraan. Karena faktanya kita butuh waktu dan butuh dana yang besar untuk melakukan transisi teknologi dari energi fosil ke energi baru terbarukan (EBT),” kata Mulyanto.
Pemerintah Realistis
Terkait program energi hijau ini Mulyanto minta Pemerintah realistis. Jangan terlalu memaksakan diri dan menjadikan sebagai bahan pencitraan. Sebab proses alih teknologi energi fosil ke energi hijau membutuhkan dana yang sangat besar.
“Jika Pemerintah tidak berhati-hati dapat menimbulkan krisis energi seperti yang terjadi negara-negara maju bebetapa waktu lalu,” pesan Mulyanto.
RUPTL
Mulyanto menyatakan, PKS mendesak Pemerintah agar hati-hati dalam implementasi RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik) 2021-2030 yang konon sangat green.
Jangan sampai Indonesia termakan oleh optimisme overdosis atau sekedar tebar pesona terhadap transisi energi ini. Sebab yang akan menjadi korban adalah tarif listrik yang menonjak atau beban subsidi yang meroket.
Pemerintah harus menyiapkan proses transisi energi itu secara bertahap dan prudent. Jangan terlalu ambisius tanpa dasar.
Energi Hijau
“Pemerintah memang harus meningkatkan bauran EBT (energi baru terbarukan). Apalagi isu energi hijau ini sudah menjadi agenda dunia. Namun pelaksanaannya harus cermat, agar biaya pokok pembangkitan (BPP) atau tarif listrik tidak ikut naik. Kalau ini terjadi, akibatnya rakyat juga yang jadi korban,” tegas Mulyanto.
Sesuai RUPTL 2021-2030, porsi EBT akan mencapai 52 persen, maka BPP PLN akan naik dari Rp 1.423/ kWh pada tahun 2021 menjadi Rp1.689/kWh pada tahun 2025.
Beban tambahan untuk subsidi dan kompensasi akan membengkak dua kali lipat lebih, dari Rp 71.9 triliun pada tahun 2021 menjadi Rp 182.3 triliun pada tahun 2025.
“Apakah Pemerintah punya uang untuk menanggung beban ini? Jangan juga beban ini dialihkan ke rakyat, sehingga menghasilkan listrik yang mahal.
Sekarang saja tarif listrik pelanggan rumah tangga di Indonesia hampir dua kali lipat dari tarif listrik di Malaysia. Karena bagi masyarakat yang dibutuhkan adalah tarif listrik yang terjangkau. Bukan listrik bersih, tapi mahal,” kata Mulyanto.
Surplus Energi
Mulyanto mendorong Pemerintah mengembangkan EBT di wilayah-wilayah defisit energi. Jangan mengembangkan EBT ini di wilayah surplus energi, seperti Jawa dan Sumatera. Ini akan mubazir dan menyebabkan biaya yang harus ditanggung oleh PLN semakin membengkak.
“Pemerintah jangan mau didikte oleh negara maju. Negara raksasa PLTU seperti China, India dan Amerika saja tidak berkomitmen untuk penghapusan PLTU ini. Juga komitmen dana yang 100 milyar USD dari negara maju untuk negara berkembang. Selain terlalu kecil, realisasinya juga belum jelas.
Kita harus komit pada kepentingan bangsa terkait ketahanan energi nasional, menyediakan energi yang cukup, murah dan syukur-syukur bersih. Jangan membebani rakyat dengan tarif listrik yang mencekik,” tandas Mulyanto.