Urgensi Sosialisasi Hukum bagi Gen Z

Aksi mahasiswa menyampaikan aspirasi ke DPR RI - Dok Tribunnews.com
Mahasiswa menyampaikan aspirasi ke DPR RI beberapa waktu lalu. (Dok: Tribunnews.com)

Bermedia.id – Tahun 2025 merupakan tahun yang penuh dengan suara masyarakat. Marah, geram, kecewa, dan muak bergabung menjadi satu perasaan yang bertubi-tubi menyerang rakyat Indonesia. Emosi tersebut seringkali muncul akibat dari kebijakan serta tindakan pemerintah yang kian menunjukkan ketidakberpihakannya kepada masyarakat. Aksi protes dan demonstrasi memadati agenda tahun ini. Dulu mungkin aksi hanya dilakukan dengan cara turun langsung ke jalan, tapi dengan berkembangnya teknologi yang beriringan dengan lahirnya media-media online, membuat aksi juga dapat dilakukan dengan menyuarakan pendapat melalui media sosial.

Generasi Z yang biasa disebut sebagai Gen Z kini dikenal sebagai kelompok yang paling vokal dalam menyuarakan pendapat. Melalui berbagai cara mereka menunjukkan kepedulian terhadap isu-isu sosial, politik, dan lingkungan. Keberanian mereka berbicara menjadi cerminan semangat kritis generasi muda yang tidak ingin tinggal diam terhadap ketidakadilan dan ketimpangan.

Bacaan Lainnya

Namun, di balik semangat para Gen Z, muncul persoalan baru yang sering kali menjadi perdebatan, yaitu minimnya pemahaman terhadap aspek hukum dalam menyampaikan pendapat. Di balik peristiwa demonstrasi yang dilakukan oleh Gen Z nyatanya terdapat fakta bahwa tindakan yang dilakukan sebagai bentuk ekspresi justru berakhir pada pelanggaran hukum, contohnya seperti unggahan di media sosial yang kemudian dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, atau aksi demonstrasi yang dilakukan tanpa izin dan dianggap sebagai sesuatu yang mengganggu ketertiban umum. Di tengah semangat kritis dan berani bersuara, generasi muda sering lupa bahwa kebebasan berekspresi juga memiliki batas hukum.

Kebebasan Berekspresi sebagai Hak Asasi Manusia

Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sudah menyampaikan bahwa manusia selalu dilekatkan dengan hak-hak asasi, salah satunya adalah hak untuk mengeluarkan pendapat yang diatur di dalam pasal 28E ayat (3) yang berbunyi “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Hak untuk bebas berekspresi ini juga kemudian ditegaskan kembali di dalam Undang-Undang Hak Asasi Manusia khususnya pasal 23 ayat (2) yang menyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan, dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan/atau tulisan melalui media apapun dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa.” serta dilengkapi pula dengan adanya Undang-Undang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum.

Banyak sekali peraturan yang mengakui bahwa manusia pada hakikatnya memiliki kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi. Namun, peraturan yang memberikan kebebasan untuk menyuarakan pendapat tersebut juga beriringan dengan peraturan yang mengatur serta membatasi agar kebebasan tersebut tidak melanggar hak orang lain atau menimbulkan kekacauan di masyarakat. Contohnya, dalam lingkup digital, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) mengatur bahwa penyebaran informasi yang bersifat fitnah, ujaran kebencian, atau pencemaran nama baik dapat dikenai sanksi pidana.

Begitu pula dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat pasal-pasal yang melindungi kehormatan dan reputasi seseorang dari pernyataan yang merugikan. Sedangkan dalam kegiatan di ruang publik, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum menegaskan bahwa aksi demonstrasi, pawai, atau mimbar bebas harus dilakukan dengan pemberitahuan kepada aparat kepolisian agar tertib dan tidak mengganggu ketertiban umum. Kebebasan berekspresi memang hal yang fundamental, tetapi pelaksanaannya harus diiringi dengan tanggung jawab untuk menunjukkan kedewasaan hukum dan sosial dalam berdemokrasi.

Kenapa Sosialisasi Hukum Itu Diperlukan

Salah satu tujuan yang dimiliki Indonesia adalah untuk memajukan dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Cerdas disini juga berarti bahwa setiap warga negara harus mampu untuk memahami peraturan yang telah ditetapkan untuk menertibkan kehidupan bangsa. Tanpa pengetahuan hukum yang memadai, masyarakat mudah terjebak pada tindakan yang sebenarnya melanggar aturan, meski dilakukan dengan niat baik. Di sinilah sosialisasi hukum berperan sangat penting.

Bagi Gen Z yang tumbuh di era digital, sosialisasi hukum dapat berguna sebagai kompas moral dan legal dalam berpendapat dan berinteraksi. Mereka perlu memahami dengan jelas batasan antara kebebasan berekspresi dan pelanggaran hukum, contohnya seperti membedakan kritik yang membangun dengan ujaran kebencian atau pencemaran nama baik. Dengan dipahaminya akan hal itu, maka Gen Z dapat bersuara dengan cerdas dan bertanggung jawab.

Sosialisasi hukum mungkin akan terdengar sebagai sebuah forum yang kaku dan sangat formal, tetapi sebenarnya sosialisasi hukum dapat dilakukan dengan cara-cara menarik yang tidak hanya mendidik tapi juga menghibur, misalnya membuat konten edukatif di media sosial, mengadakan kolaborasi antara lembaga hukum dan influencer, atau juga bisa dilakukan melalui kegiatan kampus dan komunitas.

Perlu disadari pula bahwa hukum adalah sesuatu yang dinamis. Ia selalu berkembang mengikuti perubahan zaman, teknologi, dan kebutuhan masyarakat. Karena itu, sosialisasi hukum tidak akan pernah berhenti atau menemukan akhir pembahasannya. Selalu ada hal baru untuk dipelajari, dipahami, dan disesuaikan dengan realitas sosial yang terus berubah.

Di tengah perkembangan yang sangat pesat, sadar dan paham akan hukum menjadi kebutuhan dasar setiap warga negara. Sosialisasi hukum bukan sekadar kegiatan formalitas, tetapi bagian penting dari upaya membangun masyarakat yang sadar akan hak dan kewajibannya. Sosialisasi hukum merupakan tindakan yang dilakukan untuk keberlangsungan hidup bangsa di kemudian hari.

Ketika setiap warga negara memahami aturan yang mengelilingi kehidupannya, mereka akan lebih mudah untuk menghormati hukum, menghargai keadilan, dan menegakkan etika dalam bertingkah laku. Dari sinilah kemudian tumbuh budaya hukum yang sehat, dimana masyarakat tidak lagi mematuhi aturan karena takut dihukum, melainkan karena kesadaran bahwa dengan terpenuhinya tujuan hukum adalah untuk keteraturan dan kedamaian hidup.

 

Fathiyah Madinah Akbar,

 

 

 

Penulis:
Fathiyah Madinah Akbar
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya

Pos terkait