Bermedia.id – Hilman Hariwijaya penulis novel Lupus yang melegenda meninggal dunia pada Rabu, 9 Maret 2022 pukul 08.02 wib Kepergiannya meninggalkan duka bagi dunia literasi dan perfilman.
Lupus, Boim, Gusur, sosok Lulu dan karakter lainnya menjadi teman seperjalanan para remaja di tahun 80-an. Kita tidak bisa melupakan sosok cowok SMA berjambul dan hobi mengunyah permen karet itu.
Banyak orang yang mengira karakter Lupus adalah karakter Hilman sendiri. Ternyata karakter cowok nyablak itu berbeda dengan watak asli Hilman, justru Lupus menjadi sebuah alter ego bagi dirinya.
“Saya itu orangnya pemalu, introvert dan grogian kalau banyak orang. Lupus itu alter ego saya. Saya penginnya kayak gitu, jadi anak muda itu kayak dia, lucu, disenengin, cuek, nyablak. Sedangkan saya sendiri banyak pertimbangan kalau ngomong, misal takut orang tersinggung enggak ya.” ungkapnya.
Banyak penggemarnya yang memiliki ekspektasi bahwa Hilman adalah Lupus, hal itu membuat diri dia menjadi grogi saat ikut acara-acara jumpa pembaca dengan penulis.
“Itu beban buat saya, orang berharap saya kayak lupus. Saya jumpa pengarang dan pembaca, dan itu yang dateng banyak banget. Di situ mereka harapin saya kayak lupus, makanya saya ajak teman-teman kayak Gusur dan Boim, kalau saya sendiri bisa mati berdiri. Bertahun-tahun beban berat buat saya diledekin, ‘Ayo dong Lupusnya ngelucu,’ saya semakin grogi digituin.” katanya.
Hilman awalnya menulis cerita bersambung berjudul Lupus di majalah Hai pada bulan Desember 1986, yang kemudian dibukukan menjadi sebuah novel. Dengan judul yang sama, karyanya itu diangkat ke layar lebar.
Penulis kawakan Arswendo almarhum pernah bertanya pada Hilman, “Emang lo bisa bikin tulisan kayak gitu? Elo kan pendiem gitu.”
Setelah penulis Cinta Fitri ini membuktikan jika dia bisa menulis kisah Lupus, Arswendo pun berkata, “Elo ternyata gila juga ya.”
Hilman mengakui, dia menyalurkan kegilaannya lewat tulisan. “Dari situ saya bisa gila-gilaan.”
Hilman mengungkapkan dirinya yang benci dengan segala hal berbau kekerasan, menyebabkan dirinya ingin mencari jati diri sebagai seniman yang notabene berhati halus.
“Saya anti banget dengan kekerasan. Saya tinggal di perumahan Hankam, saya tertekan lingkungan saya yang hobinya gebukin orang. Ada orang ngapel pacarnya yang rumahnya di sana aja pulangnya digebukin, dan mereka bangga gebukin orang. Saya juga pernah digebukin karena menentang sikap mereka. Dibilang banci sebagai anak tentara. Dari situ alam bawah sadar saya mau menjadi seorang seniman yang hatinya halus.” ujar Hilman.
Selamat jalan, Hilman. Terima kasih sudah menulis Lupus.