Pajak dan Keadilan Sosial

Pajak
Suasana kantor pajak (Foto: Tokopedia)

Belum selesai polemik pembatalan haji tahun 2021, yang berimbas pada ketidakpercayaan publik atas pengelolaan dana haji, kini Kementerian Keuangan memunculkan kontroversi baru. Seketika beredar kabar Pemerintah akan memberlakukan pajak pertambahan nilai atas berbagai macam produk barang dan jasa.

Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan berencana akan menerapkan pajak pertambahan nilai atas berbagai macam produk barang dan jasa, yang selama ini bebas pajak pertambahan nilai (PPN). Hal itu tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) yang sudah dibahas DPR.

Reaksi Penolakan

Berbagai macam reaksi negatif dan penolakan muncul, baik oleh para tokoh, anggota DPR maupun masyarakat bawah, terutama para pedagang. Kebijakan itu jelas akan memberikan dampak negatif terhadap daya beli masyarakat, di tengah kondisi ekonomi kita yang masih belum membaik akibat terdampak Covid yang hingga saat ini belum berakhir.

Meskipun di sisi lain pemerintah telah melakukan berbagai upaya menaikan daya beli masyarakat dengan memberikan Bantuan Sosial Tunai (BST), Program Keluarga Harapan (PKH), kartu sembako dan lainnya, namun hal itu masih belum mampu mengerek ekonomi kita.

Kebijakan Kontradiktif

Berbagai kalangan menilai rencana pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai terkait produk barang dan jasa bertolak belakang dengan upaya pemerintah menaikan tingkat daya beli masyarakat. Kebijakan tersebut tentu akan berpengaruh negatif terhadap daya beli masyarakat.

Dalam beleid itu ada dua jenis produk dan sebelas jenis jasa yang dikeluarkan oleh pemerintah dari daftar bebas PPN, pertama, barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran langsung dari sumbernya, dalam hal ini tidak termasuk hasil pertambangan batubara. Kedua, barang kebutuhan pokok rakyat banyak, barang tersebut meliputi beras dan gabah, jagung, sagu, kedelai, garam konsumsi, daging, telur, susu, buah-buahan, sayur-sayuran, ubi-ubian, bumbu-bumbuan, dan gula konsumsi.

Sementara itu, sebelas jenis jasa yang dikeluarkan oleh pemerintah dari daftar bebas pajak pertambahan nilai (PPN) meliputi; jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa pengiriman surat dengan perangko, jasa penyiaran yang tidak bersifat iklan, jasa angkutan umum di darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri, jasa tenaga kerja, jasa telepon umum dengan menggunakan logam, dan terakhir jasa pengiriman uang dengan wesel pos.

Artinya, jika DPR menyetujui usulan pemerintah tersebut, dua produk barang dan jasa, serta sebelas jenis jasa pelayanan itu akan kena PPN.

Insentif Fiskal

Namun anehnya, tepat 1 maret 2021, Pemerintah malah memutuskan memberi insentif fiskal berupa pembebasan pajak barang mewah (PPnBM) untuk pembelian mobil baru hingga nol persen. Hal ini akan berlaku hingga sembilan bulan ke depan dalam tiga tahap.

Hal ini yang kemudian menimbulkan keresahan di masyarakat. Sangat jelas kebijakan tersebut sangat kontradiktif. Di sisi lain pemerintah memberi kemudahan kepada orang kaya, namun di lain sisi orang miskin, harus membayar pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12 persen atas barang-barang kebutuhan dasar mereka. Ironinya, kebijakan ini diambil oleh Pemerintahan yang mengaku “partai wong cilik”. Partai yang selama ini mengklaim diri dekat dengan orang miskin. Lalu, di mana keadilan sosial itu!

Pajak dan Korupsi

Presiden Joko Widodo pernah melakukan tax amnesty, tepatnya pada tahun 2016 lalu. Beleid itu berlaku melalui UU Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Kebijakan itu bertujuan meningkatkan penerimaan negara dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Tax amnesty muncul sebagai upaya pemerintah untuk memberikan pengampunan pajak bagi wajib pajak yang selama ini menempatkan uangnya di luar negeri atau mereka para wajib pajak yang belum lengkap melaporkan hartanya. Dengan tax amnesty, penghindaran pajak tersebut, diharapkan basis penerimaan pajak bisa semakin meningkat.

Tax amnesty jilid I tersebut berlaku pada 2016-2017 dalam tiga periode. Periode pertama berlangsung sejak tanggal 28 Juni 2016 hingga 30 September 2016. Lanjut periode kedua dari tanggal 1 Oktober 2016 sampai 31 Desember 2016. Lalu periode ketiga berlangsung mulai tanggal 1 Januari 2017 hingga 31 Maret 2017. Meskipun kegiatan tersebut belum mencapai target, namun saat ini, wacana untuk menerapkan tax amnesty jilid kedua muncul kembali.

Optimalisasi Penerimaan

Pajak merupakan sumber penerimaan utama bagi negara. Jika suatu negara mampu mengoptimalkan penerimaan pajak, negara tersebut bisa melakukan banyak hal untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Seperti pemenuhan kebutuhan masyarakat berupa pendidikan dasar yang gratis dan berkualitas. Hal ini sudah berlaku di negara-negara Eropa. Di mana negara-negara tersebut mampu mengoptimalkan penerimaan pajak dan menekan sekecil mungkin potensi kebocorannya (korupsi).

Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan pemerintah agar penerimaan pajak kita lebih optimal;

Pertama, pastikan orang-orang kaya atau para konglongmerat membayar pajak dengan benar dan jujur. Hal ini penting dilakukan, supaya distribusi kekayaan dan kesejahteraan bisa merata. Jika si kaya dengan sukarela dan bertanggungjawab melakukan kewajibannya membayaran pajak sejumlah yang seharusnya mereka bayar maka penerimaan keuangan negara bisa optimal. Kesadaran dan tanggungjawab ini harus terus dikampanyekan.

Menurut para ahli, perbandingan besaran pajak dengan potensinya pada tahun 2018 lalu hanya sebesar 43 persen, artinya ada sebesar 57 persen potensi pajak yang belum tergali. Kalau sekarang target APBN kita pada tahun 2021 Rp 1.229,58 triliun, seharusnya potensi pajaknya bisa dua kali lipat lebih. Artinya, kalau kita serius mengelola pajak di negara kita ini, kita bisa menjadi negara yang mandiri dengan pajak.

Kedua, menekan sekecil mungkin potensi korupsi pajak. Korupsi merupakan kejahatan yang serius (extra ordinary crime). Oleh karena itu penangananya juga harus ekstra luar biasa. Banyak kasus korupsi terjadi justru dilakukan oleh para wajib pajak dengan pejabat maupun petugas pajak.

Mereka melakukan persekongkolan jahat atau kecurangan demi memperoleh keuntungan pribadi. Kasus Gayus adalah yang fenomenal, yang mampu membangunkan kesadaran publik. Namun, hingga saat ini korupsi terkait pajak masih saja terjadi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 4 mei 2021 mengumumkan telah menetapkan enam orang tersangka dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi terkait pemeriksaan perpajakan tahun 2016-2017 oleh Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan.

Lebih jauh menurut ICW (09/03/2021, viva.co.id), sepanjang tahun 2005-2019 sedikitnya terdapat 13 kasus korupsi perpajakan yang menunjukan kongkalikong antara pihak pemerintah dan swasta. Yang sangat menyedihkan salah satu di antara tersangkanya adalah eks Direktur Pemeriksaan dan Penagihan DJP Kemenkeu. Mereka para pegawai pajak seperti mengetahui betul bagaimana mempermainkan aturan pajak untuk melakukan tindak pidana korupsi.

Ketiga, membangun kepercayaan publik. Salah satu penyebab utama publik enggan membayar pajak adalah korupsi dan dampaknya tidak terasa secara langsung oleh masyarakat. Mereka beranggapan jika mereka membayar pajak, uang hasil pembayaran pajak mereka tidak kembali untuk mereka, tetapi akan dikorupsi.

Anggapan seperti ini perlu penjelasan pemerintah dengan menunjukan kinerja yang profesional, seperti menekan sekecil mungkin potensi korupsi. Karena para pegawai pajak sudah digaji sangat tinggi, bahkan besarnya di atas gaji rata-rata Aparat Sipil Negara (ASN) lainnya. Termasuk tunjangan kinerja (tukin), mereka bisa mendapatkan belasan hingga puluhan juta rupiah. Bahkan ada yang sampai seratus juta rupiah lebih untuk jabatan tertentu.

Keenggaanan masyarakat serta terjadinya tindak pidana korupsi yang membelit pegawai pajak inilah yang kemudian secara langsung maupun tidak langsung berdampak pada penerimaan hasil pajak kita yang selalu tidak sesuai dengan target. Misalnya per-Februari 2021 realisasi penerimaan pajak kita sebesar Rp146,13 triliun atau 11,88% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2021 Rp1.229,58 triliun, masih jauh dari target.

Kebijakan Publik

Sebuah kebijakan publik harus berdasarkan pikiran positif, pikiran yang memenangkan kepentingan dan kebaikan publik (Riant Nugroho, Public Policy, 2020). Sekarang kita bisa menganalisa, keinginan pemerintah mengenakan pajak pertambahan nilai terhadap dua produk barang dan sebelas jenis jasa tersebut, yang tertuang dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), bertujuan untuk memenangkan kepentingan dan kebaikan publik, atau justru membuat gaduh dan kontradiktif.

Pos terkait