Anatomi Utang

Anatomi Utang (Dok: Cermati.com)

Jika kita memberikan utangan pada seseorang, sejatinya bukan karena kita kelebihan uang. Bukan juga karena kita tak butuh uang itu. Pertimbangannya acapkali emosional. Seringkali karena kita peduli pada orang tersebut.

Kita berupaya memahami kesulitan yang terjadi pada orang tersebut. Kita berempati. Dan bersedia berkorban untuk orang tersebut. Seringkali bukan pada pertimbangan rasional: kemampuan orang tersebut untuk mengembalikan utang.

Bacaan Lainnya

Mungkin orang tersebut kita anggap teman dekat, atau malah teman akrab. Bisa juga karena hubungan darah. Bisa saudara jauh atau saudara dekat. Bisa karena sahabat atau malah kerabat. Yang pasti, pasti orang tersebut telah menempatkan dirinya sebagai orang yang layak atau malah dilayak-layakin untuk mendapatkan utangan. Entah untuk urusan sakit, anak sekolah, tertimba musibah, atau urusan lainnya.

Namun, dari pengalaman saya seringkali tak banyak yang berkomitmen untuk mengembalilan utang tersebut. Seringkali janjinya saat mengutang dilanggar. Tentunya dengan berbagai alasan. Dengan berbagai pembenaran. Mungkin ada yang benar-benar tak punya kemampuan, namun seringkali persentasenya sangat sedikit. Jumlah yang banyak seringkali mengabaikan. Mengganggap mengembalikan utang bukan hal utama. Bukan perkara yang mesti didahulukan. Akibatnya, selalu punya alasan untuk menunda atau malah mengabaikan utang.

Dengan pengalaman itu, saya kini seringkali menolak memberikan utangan. Saya lebih memilih membantu sebisanya, seikhlasnya. Dan menganggap sebagai sedekah. Sebab, ujung-ujungnya saya tak hanya kehilangan uang, tapi juga kehilangan teman, sahabat, atau hubungan persaudaraan yang merenggang. Bahkan, sang pengutang seringkali menghilang tanpa jejak. Ini mungkin yang disebut ghosting. Bisa teleponnya mati atau nomornya berganti. Raib tanpa jejak. Tanpa kabar berita.

Mungkin benar ucapan seorang bijak, “Kita lebih banyak mencari ilmu dan belajar cara menghabiskan uang. Kita kurang belajar bagaimana mendapatkan uang dengan benar.”

Karena tak paham ilmu itulah, maka mengutang menjadi jalan pintasnya. Tanpa paham konsekuensi harus membayarnya. Tak paham bahwa kebajikan tak boleh dihianati. Sebab, mengabaikan kebajikan orang lain berkonsekuensi pada diri sendiri. Tabik

Pos terkait